Cari Blog Ini

Rabu, 04 April 2018

Senyawa Antinutrisi dan Racun dalam Bahan Pangan

Kandungan zat berbahaya dalam bahan pangan terkadang tidak kita sadari keberadaannya, karena tidak semua bahan pangan mengandung toksin dan secara kasat mata tidak terlihat dan kadang tidak memberikan aroma yang berbau. Makanan yang kita hindari karena bahayanya biasanya disampaikan oleh orang tua secara turun temurun sebagai tradisi dan budaya. Tetapi walaupun masyarakat mengetahuinya, mereka tetap mengkonsumsinya karena berbagai alasan, bisa karena kesukaan karena kelezatannya, terpaksa atau tradisi. Masyarakat tetap melakukannya karena kandungan toksin bahan pangan umumnya bisa hilang selama proses persiapan seperti pengelupasan, pencucian, pengirisan dan perendaman.

Selain mengandung nutrisi, bahan pangan pun mengandung senyawa antinutrisi yang mempengaruhi pencernaan. Senyawa antinutrisi mempengaruhi penyerapan makanan dalam proses pencernaan. Keberadaannya dapat mengganggu nutrisi yang diserap tubuh sehingga tubuh menjadi kekurangan nutrisi tertentu.


Senyawa Antinutrisi

Senyawa antinutrisi secara alami terdapat dalam bahan pangan untuk mempertahankan diri terhadap serangan hama, tetapi mempunyai efek negatif terhadap manusia. Antinutrisi dapat menghambat aktivitas beberapa enzim dalam pencernaan, sehingga mengganggu penyerapan nutrisi di dalam tubuh.

Bebarapa senyawa antinutrisi dibedakan dalam 3 kelompok yaitu : antiprotein, antimineral dan antivitamin

antiprotein termasuk kedalamnya adalah zat tanin, asam fitat, dan antitripsin. Umumnya zat ini terdapat dalam kacang-kacangan, polong-polongan, biji-bijian, serealia, beberapa sayuran dan umbi-umbian.

antimineral seperti fitat mengganggu penyerapan zat besi, terdapat pada padi, kedelai dan koro.
oksalat terdapat pada seledri, peterseli dan bayam, penyebab rasa nyeri pada sendi.
tanin senyawa golongan polifenol, dapat mengikat zat besi umumnya terdapat pada teh.


antivitamin dapat menghambat penyerapan vitamin dalam tubuh antara lain : avidin ( antibiotin ) pada telur, antipiridoksin menghambat vitamin B 6, terdapat pada biji-bijian mentah, niasinogen mengganggu ketersediaan niasin, banyak terdapat pada jagung, askorbase menghambat penyerapan vitamin C, terdapat pada labu, ketimun, apel, selada, kol, kacang hijau, kacang kapri, wortel, kentang, pisang dan tomat, tiaminase menghambat penyerapan vitamin B 1, terdapat pada ikan mentah, lipoksidase menghambat penyerapan vitamin A, terdapat pada kacang-kacangan, antivitamin D terdapat pada bungkil kedelai dan antivitamin E terdapat pada polong-polongan.

Semua zat antinutrisi di atas dapat berkurang, bahkan hilang selama proses persiapan dan pengolahan. Pemanasan dapat menonaktifkan senyawa antinutrisi, tapi perlu juga dipertimbangkan cara pengolahan yang baik untuk tidak merusak zat nutrisi yang dibutuhkan.



Senyawa beracun dalam bahan pangan

Jenis-jenis senyawa beracun alami yang terdapat dalam bahan pangan antara lain adalah solanin, chaconine, asam oksalat, asam sianida, asam jengkolat

Solanin

Solanin dan chaconine termasuk dalam golongan senyawa glikoalkaloid dan secara alami terdapat dalam kentang pada bagian manapun termasuk daun, buah dan umbi. Kadarnya rendah di dalam kentang dan tidak menimbulkan efek negatif bagi manusia, kecuali kentang yang sudah berwarna hijau, bertunas dan secara fisik telah rusak oleh mikroba akan memiliki kadar glikoalkaloid tinggi yang menyebabkan sakit perut, mual dan muntah serta rasa terbakar di mulut.

asam oksalat

asam oksalat banyak terdapat pada bayam, dengan kadar tinggi dapat menyebabkan defisiensi kalsium, iritasi pencernaan karena asam kuat dan dapat menyebabkan pembentukan batu ginjal. Hindari konsumsi senyawa ini terlalu banyak.

Asam Sianida (HCN)

HCN terdapat pada biji almond, aprikot, apel, biji shorgum, kara dan singkong dengan bentuk senyawa yang berbeda. Kandungan sianida yang mematikan adalah 0,5- 3,5 mg HCN/kg berat badan. Bila dicerna, HCN sangat cepat masuk ke dalam saluran darah.

Kadar sianida rata-rata dalam singkong manis di bawah 50 mg/kg berat. Menurut FAO singkong dengan kadar sianida 50 mg/ kg masih aman unutk dikonsumsi manusia. HCN dalam singkong berbentuk glikosida sianogenik dengan nama linamarin yang jika terurai menjadi hidrogen sianida yang beracun.

Pengupasan kulit, pengeringan, perendaman, fermentasi dalam pengolahan dapat mengurangi kandungan sianida pada singkong atau bahkan menghilangkannya. Perebusan atau pemanasan juga dapat menginaktivkan enzim yang mengubah senyawa linamarin dalam singkong menjadi HCN yang berbahaya.

HCN berbahaya karena dapat merusak sistem kardiovaskular, sistem pernafasan dan sistem syaraf pusat pada manusia.

Asam Jengkolat ( Jen- colic Acid )

Terdapat pada jengkol, dapat menyebabkan keracunan yang ditandai mual dan susah buang air kecil. Ketahanan seseorang terhadap asam jengkolat berbeda-beda. Jumlah asam jengkolat dalam biji jengkol adalah 1-2 % dari berat bijinya.

Asam jengkolat sangat sukar larut dalam air, pada pH urin yang asam, asam jengkolat dapat mengkristal di ginjal. Racun jengkol ini dapat dikurangi dengan proses perendaman, perebusan dan pemanasan. Memasak jengkol sampai matang dapat memecah kandungan asam jengkolat dan mengurangi konsentrasinya. Hindari makan jengkol dalam keadaan mentah dan berlebihan.

Kandungan senyawa racun dan antinutrisi pada bahan pangan biasanya terdapat dalam jumlah yang rendah dan tidak membahayakan bagi orang yang kesehatannya normal. Proses pengolahanpun mengurangi dan dapat menghilangkan senyawa tersebut. Variasi makanan dalam menu harian dan proses pengolahan perlu diperhatikan untuk mencegah kemungkinan berbahayanyan senyawa racun tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar